BUDAYA JAWA "BANTENGAN"

 KESENIAN BANTENGAN NUSWANTORO









Bantengan Seni Tradisional Jawa Timur, Mistis Namun Penuh Filosofi



Merupakan Kesenian yang Lahir Dari Perguruan Pencak Silat


Kesenian bantengan diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Singosari. Hal ini dibuktikan dari adanya relief di Candi Jago, Tumpang, Malang, Jawa Timur yang menggambarkan harimau (macan) melawan banteng. Sedangkan di sisi lainnya, juga terdapat gambar tarian menggunakan topeng banteng.

Lahirnya kesenian ini bermula dari perguruan pencak silat yang digunakan sebagai hiburan pemainnya. Ada yang menyebutkan juga bahwa bantengan merupakan bentuk kamuflase untuk mengelabuhi penjajah Belanda yang melarang keras perguruan tersebut. Kini, bantengan berkembang pesat di berbagai daerah Jawa Timur. Seperti di kawasan pegunungan Bromo Tengger, Welirang, Arjuno, dan Raung Argopuro. Sedangkan kelompok bantengan paling terkenal bisa Teman Traveler jumpai di Batu, Malang dan Pacet, Mojokerto.

Setiap kelompok bantengan memiliki ciri khas tersendiri dalam pementasannya. Unsur pencak silat biasanya terdapat pada bagian pembukaan pertunjukan sebagai ‘tunjuk keahlian’.


Hiburan Rakyat yang Menceritakan Perlawanan Terhadap Keburukan



Seni Tradisional Jawa Timu Bantengan ini sudah ditetapkan sebagai warisan budaya. Merupakan pertunjukan cerita rakyat melawan keburukan, yang diperankan dalam sosok binatang.

Selain itu juga terdapat tokoh pengganggu yang memicu perlawanan semakin sengit. Yaitu sosok kera yang digambarkan sebagai wujud sifat kikir dalam diri manusia.

Dalam alur ceritanya, banteng dan macan akan selalu bertarung ketika bertemu. Sedangkan monyet menjadi tokoh provokator yang selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan. Permainan ini selalu dimenangkan oleh banteng, dimana memberikan pesan moral bahwa kebaikan akan selalu mendapatkan kemenangan.


Menjiwai Peran Hingga Kesurupan


Kesenian bantengan dimainkan oleh dua orang dalam satu grup yang membentuk satu badan banteng.  Dimana satu orang menjadi kaki depan dan memegang kepala, sedangkan lainnya menjadi kaki belakang sebagai badan banteng. Keduanya bergerak kompak seperti satu tubuh, jiwa, dan roh. 

Permainan semakin seru ketika memasuki tahap ‘Trans’ atau kesurupan, yaitu kondisi masuknya arwah leluhur ke dalam tubuh pemain bantengan. Pemain bantengan pemegang kepala biasanya menjadi sang misteri yang mengalami kesurupan.

Hal yang sama juga bisa terjadi pada pemain lainnya ketika mereka sangat menjiwai perannya masing-masing. Dalam kondisi ini, gerakan pemain menjadi tidak terkendali dan agresif, namun menjadi daya tarik paling ditunggu-tunggu oleh penonton.


Unsur Leluhur Adalah Bagian Terpenting Dalam Kesenian Bantengan


Selain tokoh pemeran diatas, dalam gebyak atau pertunjukan bantengan juga dilengkapi tokoh pendekar dan sesepuh (orang yang dituakan). Pendekar adalah orang yang mengendalikan banteng dengan membawa cambuk atau pecut. Sedangkan sesepuh adalah orang yang memanggil dan mengembalikan arwah leluhur banteng.

Bagian terpenting dari gebyak adalah upacara ritual sebelum acara dimulai. Ritual ini dilakukan untuk meminta izin pementasan bantengan kepada arwah leluhur setempat serta memanggil arwah leluhur bantengan.  Dalam upacara ini digunakan sesajian untuk menyeleksi arwah leluhur yang datang dan memohon keselamatan.


Ragam Sesajian Bantengan yang Penuh Makna

Sesajian bantengan merupakan alat komunikasi dengan arwah leluhur serta manisfestasi kepercayaan. Adapun sesajian yang diberikan meliputi kelapa, pisang, beras, badek, susur, satu batang rokok, satu bungkus bedak, satu butir telur ayam kampung, kacang merah, kembang boreh, joroh, uang sesaji sebesar Rp. 500,-, bumbu dapur lengkap, kemenyan, dupa, dan kaca.

Bukan sembarang hidangan, sesajian bantengan sangat sarat makna. Buah kelapa dilambangkan sebagai lahan kering dan pisang bermakna persaudaraan antar warga.

Sedangkan beras, badek, susur, rokok, bedak, telur ayam kampung, kacang merah, kembang boreh, joroh, dan kaca mempunyai makna penghormatan bagi leluhur serta menjadi makanan bagi orang yang kesurupan.


Kesenian Bantengan Mengandung Banyak Nilai Moral Kehidupan


Selain nilai budaya, seni bantengan juga mengandung banyak nilai moral yang dijadikan pedoman kehidupan. Diantaranya adalah nilai religius yang terkandung dalam mantra serta bacaan shalawat dalam pementasan, nilai kepercayaan terhadap adanya makhluk ghaib, serta nilai sosial dalam bermasyarakat mengenai kebaikan maupun keburukan.

Itulah hal menarik kesenian bantengan asli Jawa Timur. Sebagai generasi muda, penting bagi kita untuk terus melestarikan dan mengembangkan warisan budaya secara berkelanjutan.




Comments

Popular posts from this blog

MENGENAL KAYU TANGAN MALANG